Jepang adalah Negara yang terkenal dengan semangat bunuh diri yang dikaitkan dengan patriotisme seseorang. Daripada malu karena gagal dalam perjuangan, seorang jepang akan merasa terhormat jika dia bunuh diri. Busido adalah sebutan untuk semangat bunuh diri seorang ksatria yang kalah perang. Bunuh diri di Jepang sekarang banyak dipengaruhi kegiatan chatting tak terarah di internet. Mereka saling berhubungan dan saling mengajak bunuh diri bersama – sama.
Di kalangan masyarakat Jepang ada kategori aib yang dapat memicu orang untuk bunuh diri. Aib yang dimaksud adalah aib pribadi. Ukuran besar kecilnya suatu aib tergantung masing – masing pribadi. Nah, pertanyaannya, kenapa di Jepang begitu mudah orang mudah bunuh diri? Karena bagi mereka, pemahaman kematian berbeda dengan kita. Kalau kita bunuh diri itu sesuatu yang bertentangan dengan norma agama dan akibatnya bisa masuk neraka.
Sedangkan bagi mereka bunuh diri itu merupakan sesuatu yang terhormat, daripada menanggung malu. Ada yang namanya semangat busido, yaitu cerita ksatria samurai zaman dulu yang daripada dia kalah perang atau ditawan dan malu, lebih terhormat jika dia bunuh diri.
Jadi faktor yang mempengaruhi ada faktor psikologi dan ada faktor patriotisme. Kalo dari psikologinya kan dia sudah putus asa. Tapi lebih banyak patriotismenya. Tidak jarang anak SD saja bisa bunuh diri gara – gara tidak naik kelas atau rapornya jelek, dan itu sudah terjadi dari tahun 70 an. Setiap musim kenaikan kelas ada 30 anak kedapatan bunuh diri. Ada juga kejadian sekarang ini karena stress. Bahkan setiap hari ada kasus bunuh diri karena stress, termasuk karena putus cinta. Umumnya anak muda.
Lebih banyak bukan karena putus cinta tapi karena menanggung malu akibat tidak naik kelas atau tidak lulus ujian di sekolah atau perguruan tinggi. Memang karakter heroiknya kuat. Misalnya beberapa waktu lalu, ketika ada kejadian tabrakan kereta api, atau dulu pernah ada kejadian pesawat Japan Airlines jatuh, meskipun itu sebenarnya musibah tapi pimpinan lembaga – lembaga publik itu turun semua, tanpa disuruh atau diminta. Jadi sifat sportif atau ksatrianya besar sekali.
Sampai direktur yang turun itu keliling ke rumah – rumah korban satu persatu untuk minta maaf. Walaupun bawahannya yang melakukan kesalahan. Begitu juga setelah kejadian tabrakan kereta api yang merenggut nyawa 107 orang, semua pimpinannya minta maaf, tidak pakai alasan atau menyalahkan ini-itu, atau cari kambing hitam. Jadi alasan mereka bunuh diri itu bisa sama banyak dan sama kuat dengan minta maaf.
Waktu lalu ada kejadian korupsi dan ketahuan, koruptornya lalu bunuh diri, karena merasa malu besar. Padahal korupsinya cuma “sedikit”, cuma beberapa juta yen.
Bagaimana dengan kalangan anak muda? Kebanyakan mereka bunuh diri gara –gara gagal sekolah atau gagal karier, misalnya dipecat, bukan karena asmara. Kasus konflik keluarga boleh dikata tidak ada, cuma sedikit sekali. Konflik keluarga itu malah terbalik, dia bukan bunuh diri tapi dia membunuh.
Anak bisa membunuh orang tuanya sendiri. Jadi lebih berpikir ke diri sendiri, kalo ada orang lain salah dia bunuh atau entah siapa yang salah kalau kesalahannya terlalu diungkit lalu timbul rasa malu, dia bisa menyerang balik, pernah kejadian satu keluarga dibunuh salah seorang anak di dalam rumah itu.
Zaman dahulu ada faktor sistem pendidikan mereka yang ketat sekali, istilah mereka itu “ ibu pendidik “. Misalnya kalo lulus dari SD ini hanya bisa masuk SMP itu. Terus kalo dari SMP itu hanya bisa masuk SMA yang tertentu juga. Dari kecil mereka sudah dipaksa belajar dengan keras dan diarahkan supaya mereka bisa masuk ke sekolah yang dituju. Nah, sekarang ini banyak kasus yang meledak hingga banyak orang tua yang takut sama anak. Anak – anak jadi galak, mulai tidak mau sekolah gara – gara tekanan dan didikan dari kecil. Misalnya dari TK A, pilihan SD nya sudah terbatas, demikian juga kalo mau ke SMP, SMA. Bahkan sampai Universitasnya terbatas.
Jadi orang tua peranannya besar, mulai dari kecil untuk mendidik lebih keras. Faktor ini yang membuat kegagalan menjadi besar, lingkunganlah yang membuat kegagalan jadi besar. Kalo kita kan berfikir tidak naik kelas saja kok bunuh diri. Bagi mereka itu suatu rentetan masa depan. Ini yang jadi masalah, malu terhadap teman – teman, takut terhadap orang tua. Jadi orang tua sekarang takut anak mereka nekat – nekat. Bukan Cuma takut mereka nekat bunuh diri tapi juga mereka bisa menganiaya orang tuanya sendiri.
Sifat bunuh diri itu memang sifat turun temurun dari zaman perang. Kasus bunuh diri ini tiap hari pasti ada di seluruh jepang. Gambaran pahlawan yang paling berpengaruh itu dari zamannya Perang Dunia II. Banyak orang yang masuk cerobong Kamikaze, pesawat yang mereka awaki dijatuhkan ke cerobong kapal perang musuh sampai meledak dan tenggelam.
Itu mereka bilang mati terhormat. Jadi bukan kecewa tapi mengorbankan diri. Tapi itu kan situasi yang mendesak, lebih baik ikut daripada dibilang penakut. Jadi kuncinya ya balik lagi ke rasa malu terhadap diri sendiri. Kamikaze itu satu pola resmi, suatu pasukan untuk bunuh diri. Jadi mereka menyiapkan diri untuk mati. Itu yang mati mulai umur 16 sampai 20 tahunan.
Bedanya dengan bom bunuh diri, kamikaze tidak bikin terror. Pokoknya ada hubungannya dengan kesatriaan . seperti samurai, kalau kalah dan tidak terbunuh pasti malu. Kalau teroris itu sakit hati dengan orang, pasang bom di badan sendiri terus membunuh banyak orang. Kalo kamikaze ya membunuh badan sendiri.
Beda dengan di negeri kita, banyak sekali yang bunuh diri karena putus cinta atau kondisi ekonomi. Kalau di Jepang justru karena malu, sudah berusaha dengan keras tapi masih gagal. Kalo putus cinta bukan karakter heorik tapi keputusasaan. Dan mereka sebenarnya bukan orang yang cepat putus asa.
Kenapa di jepang sampai ada fenomena seperti itu, karena di sana tidak ada peran agama. Di sekolah tidak diajarkan pelajaran agama, sehingga generasi muda Jepang sekarang ini bisa dibilang tidak punya agama. Kalo dulu dirumah orang – orang tua masih kelihatan ada tempat – tempat untuk sembahyang agama Shinto.
Sekarang sudah tidak ada. Jadi sudah seperti atheis. Ciri – cirinya yang paling kelihatan, mereka menikah secara Kristen atau Katholik di gereja, ikut merayakan Natal, mereka percaya Tuhan, tapi mereka tidak tahu peran Tuhan dalam hidup mereka, tidak tahu hukum – hukum Tuhan.
Jadi mereka cuma tahu Tuhan itu yang menciptakan. Hanya itu. Yang menentukan hidup mereka di dunia ini hanya jerih payah mereka. Urusannya nanti setelah mati mereka ke mana itu ada. Kalau mereka berbuat baik ya bisa masuk surga, kalau jahat masuk neraka . mereka bisa menikah secara Kristen, meninggal secara Shinto. Jadi agama itu bukan satu way of life mereka. Jadi yang perlu ditanamkan pada anak – anak kita itu agama harus dijadikan way of life.
Orang zaman dulu lebih tahan dengan konflik. Lain dengan anak – anak zaman sekarang, begitu ada konflik sedikit sudah tidak tahan dan lebih mudah bunuh diri. Figthing spirit nya lemah.
Sebenarnya benteng terkahirnya keluarga, tapi semua keluarga di Jepang menganut hal yang sama. Mereka memang tidak punya sifat pasrah, pasrah kepada Tuhan atau pasrah terhadap masalah. Nah, pola keluarga seperti itu sudah mulai masuk ke sini. Waktu mereka dengan keluarga itu sedikit, bisa – bisa dampaknya sama seperti di Jepang. Seperti Jepang kira – kira 20 tahun lalu. Orang kerja dari pagi sampai malam. Anak – anak tidak diarahkan.
Bunuh diri di jepang sekarang banyak pengaruh dari chatting internet. Mereka saling berhubungan dan saling mengajak bunuh diri sama – sama. Sering mereka bunuh diri sama – sama di dalam mobil. Ini yang lagi tren. Makanya sekarang di Jepang banyak di bangun tempat bermain anak – anak, lapangan – lapangan dengan pelatih – pelatih, untuk menjauhkan anak – anak dari chatting atau email tidak terarah melalui internet.
Kemudian mereka dihimbau untuk mengurangi nonton film, karena banyak anak – anak bunuh diri dengan cara gantung diri karena menonton film. Film – film drama pada umumnya. Ada kasus anak kecil ( SD ) bunuh orang, karena dia berpikir orang yang dibunuh di suatu film bisa hidup lagi di film lain. Jadi dia bunuh orang karena dia berpikir orang itu bisa hidup lagi di tempat lain. Itu semua karena orang tua tidak pernah mengajarkan atau memberi pengertian yang sebenarnya.
Jadi sekarang mereka banyak dihimbau untuk bermain diluar, bersosialisasi, membagi waktu. Jepang bagus sekali untuk dijadikan acuan untuk mengantisipasi kejadian yang sama di Negara kita. Anehnya olahragawan jarang bunuh diri, yang banyak itu yang kurang bersosialisasi.
sumber media rajawali 12 oketober 2006
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar